Tentang Cintanya Anak
Semalem Si Bapak mau donor darah, cukup lama bapak itu gak donor terhitung sejak resain kerja.
Semalam ada yang share di grup tentang pasien yang butuh darah, kebetulan sekali kami kenal adik pasien ini.
Selain ingin menolong, Si Bapak juga rindu untuk di bagi darahnya. Maka selepas sholat maghrib beliau langsung berangkat ke PMI tujuan.
Bapak itu memang berangkatnya pamit sholat maghrib, duo abang sholat di rumah biar gak heboh ikutan ke PMI. Terjadilah drama haru malam itu saat mereka menyadari Si Bapak tak kunjung kembali dari masjid.
"Mi, Abuyyaa ke mana?" tanya Abang Tengah.
"Ke masjid, langsung donor darah. Ya, kan, Mi?"
Sulung seorang yang tau dan mulai faham.
"Iya, Sayang," jawabku sambil mengendus-endus leher acem bayi.
"Donol itu apa, Mi?" sambung Si Tengah dengan suara khas cadelnya.
"Donor ituu...ngasih darah ke orang sakit yang butuh," Aku menjawab agak asal.
"Ngasih darahnya gimana, Mi?" Sulung akhirnya penasaran juga.
'Tring..'
Pesan whatsapp dari Si Bapak. Nampak poto-poto dirinya yang sedang diambil darahnya dan dialirkan lewat selang kecil.
"Nah, ini... Abuyyaa lagi donor. Ya, gini, Sayang. Jadi lengannya ditusuk jarum, trus darahnya diambil, deh" Lancar dan PD sekali aku berujar. Sama sekali tak memikirkan dampak setelahnya.
Hitungan menit kemudian saat aku dan Kakak Gadis asyik cium-cium Si Bayi, tiba-tiba terdengar raungan menyedihkan dari sebelah kami.
"Hu....hu...hu....Abuyyaaa....hu hu hu..,"
Begitu nelangsa.
Aku terkesiap.
"Kenapa, Nak? Bang, adek mu kenapa?" Aku menanyai Si Sulung yang santai rebahan di samping Si Tengah.
"Biasa, Mi. Nangisin abuyya."
"Hu..hu..hu.. Abuyyaa..." Lama-lama rytme nya meninggi. Meninggi, nelangsa lagi. Meninggi lagi, nelangsa lagi. Sambil terus memanggil-manggil lelaki kesayangannya.
Aku yang terduduk dekat Si Gadis, fokus menghadap abang tengahnya.
"Sayang kenapa? Sini sini...,"
Aku mulai meraih tubuh lelaki kecil itu dan membenamkan kepalanya di pelukanku.
"Abuyya kasian, Mi. Diambil darahnya... Huaaa huaaa..,"
Rupanya bukan hanya bahagia yang menular, tangis pun demikian.
"Hwuaaa...hwuaaaa...,"
eh eh, Si Gadis ikutan nangis.
"Abuyyaa..Abuyyaa..."
Fix mereka seperti sedang koor. Rytme naik turun naik naik naik........
Oke oke, aku harus menenangkan.
Aku melepas pelukan Si Tengah, kemudian mendudukan Si Gadis di pangkuan. Membiangkai wajah lelaki kecil yang sudah basah dengan air mata.
"Makasih, ya, Sayang, Abang Ayyash udah khawatir banget sama abuyya. Kakak Chima juga," Sambil kuelus-elus keduanya.
"Mmm...gini. Jadi donor darah ini termasuk perbuatan mulia. Abuyaa berbagi darah untuk orang yang membutuhkan sama aja seperti sadaqah, maka tercatat pahala amal shaleh, Nak,"
"Donor darah ini gak buat abuyyaa jadi sakit, justru abuyyaa jadi semakin sehat,"
"Tapi ditusuk-tusuk jarum...," kilahnya.
"Abuyyaa....huhu... Abuyyaa...," Si Gadis masih meraung-raung.
Aku melirik Si Abang Sulung yang agaknya tak peduli dengan kehebohan kami. Dia nampak mengantuk berat akibat tak tidur siang. Baiklah, biar dia lelap. Serahkan saja semua pada Ummi Peri yang baik hati. 😆
"Jadi misal, nih, Ummi sakit, Ummi butuh darah. Kasian gak kalo gak ada yang mau sadaqah darah ke ummi,?
Netra kami beradu. Dia mendengarkanku dengan saksama. Aku menjeda, memberi ruang untuknya berfikir.
" Nah, gitu juga Si Ibuk yang abuyyaa bantu ini sayang. Ibuk itu sakit, butuh darah. Sebagai hamba yang beriman, kan, wajib, ya, tolong menolong. Insha Allah abuyyaa sehat. Abuyyaa, kan, kuat, gagah. Ya, kan?"
Sambil menekuk lengan menunjukan bisep ku yang sama sekali tidak menonjol.
"Sekarang, kalo abang Ayyash khawatir, doain aja abuyya biar sehat-sehat, ya, Nak,"
Tangis pun sedikit mereda, rytme naik turun melandai, hanya saja kicauan kata "Abuyyaa...Abuyyaaa...Abuyyaaaa......" Terus digaungkan Si Gadis kecil yang sedang duduk di sisi kananku.
Hal seperti ini sering terjadi jika Si Bapak sedang bepergian atau kerja di luar. Meski memang sangat jarang sampai ada adegan air mata yang histeris.
Aku memang seorang yang selalu was-was dan penuh khawatir saat melepas salah seorang dari mereka keluar dari pintu rumah. Jangankan jauh, main di halaman saja sering-sering kuintip dari jendela.
Sejak abang sulung TK kecil aku mulai menanamkan rasa empati pada mereka. Seperti menyiapkan air minum saat Si Bapak pulang kerja, memisahkan makanan bagi anggota keluarga yang belum bisa makan bersama saat itu juga. Juga menanyakan kabar 'Abuyya, sehat?' Misalnya, sebelum mereka menanyakan oleh-oleh atau pesanan yang mereka minta. Lalu yang paling penting menurutku adalah sikap khawatir yang harus mereka tunjukan dengan doa.
Pernah saat itu hujan deras, tapi Si Bapak blum juga kembali ke rumah. Maka tanpa komando Azzam dan Ayyash berwudhu kemudian mendirikan sholat, berdoa yang cukup lama untuk lelaki terhebatnya itu.
Maka saat khawatir, ekspresikan dalam bentuk doa.
'Kalau khawatir sama abuyyaa, sholat trus doakan yang baik, ya, Nak. Semoga abuyya sehat, Allah jaga dengan baik dan selamat sampai rumah,"
Begitu selalu.
Dari tangis keduanya malam itu, ada senyum syukurku atas sikap heroik mereka. Cinta yang di tanam mulai tumbuh dengan subur memenuhi tiap celah di hati mereka. Bahkan cinta itu serupa pepohonan yang berbuah dengan lebatnya, menunggu ia masak lalu dapat dipetik kemudian dinikmati.
Masyaa Allah.
Bantu kami Allah untuk menjadi orang tua yang terus belajar tiada henti. Memenangkan hati mereka sampai nanti, sampai kami tak lagi mampu memberi.
Elipsis, harus ada spasi. Elipsis penutup kalimat titik empat
BalasHapusWah.. ThanksMiss..
HapusOtw edit 😁