Saya Takut Menyakiti Anak

Saya sedang tidak ingin membahas kasus yang sedang viral, anggap saja saya sedang curhat atau sekedar corat-coret membuang sampah dalam diri saya. 

Kemarin lusa suami saya sakit, sekitar jam 3 dini hari, suami saya mengerang. Sekujur tubuhnya menggigil dan suhu tubuh kisaran 38°C.

Saya mulai melakukan perawatan apa pun yang bisa membuatnya nyaman. Mulai mengompres, mengerok punggungnya, pijat limfatik, juga konsumsi madu dan habattussauda. Suami saya alergi orbat, jadi herbal adalah pilihan yang paling pas untuknya. 

Drama dan kerempongan dimulai. Merawat suami sakit, juga mengurus empat anak usia 7th, 5th, 3th dan 7 bulan, mengurus rumah dan segala isinya seorang diri tentu suatu hal yang tidak mudah. 

Saya memulai pagi hari dengan cucian piring segerobak, kemudian berurutan mengelap badan suami dengan air hangat, menyiapkan sarapannya, madu hangatnya juga habatts. 

Kemudian menyuap si bayi yang sudah MPASI, menyiapkan air mandinya kemudian memandikan dan mengASIhi. Setelah itu mengurus sarapan tiga kakaknya bayi, hingga mandi si gadis usia 3th itu. 

Apakah semulus itu? 
Tidak. Semua penuh drama. Saat sedang menidurkan bayi misalnya, bocah tiga yang sedang aktif-aktifnya itu seperti tidak ada lelahnya berlompatan, berteriak, mengacak keranjang mainan, menangis, dan kadang bertengkar. Masyaa Allah. 

Semua belum berakhir, waktu berjalan begitu cepat, tiba-tiba sore menjelang, aktifitas terulang kembali, mengelap yang sakit-memandikan bayi dan anak-anak- menyiapkan makan mereka. 

Saya berusaha menenangkan diri saya dengan mengingat-ingat kembali nikmat Allah yang telah diberikan di tengah ujian yang saya hadapi. 

Malamnya, suami bukannya pulih tapi terus mengerang. Sakit kepalanya, sakit persendiannya, tenggorokan dan kepalanya. MasyaaAllah ... 

Maka sukses malam itu saya tidur hanya sekilas mata. Sejam atau dua jam saja. 

Pagi hari aktifitas kerempongan kemarin terulang lagi, saya berharap sekali bisa menikmati tidur siang sebagai pengganti tidur malam yang terenggut. 

Tapi kenyataannya tak semanis itu, bahkan saat saya ingin menidurkan si bayi, ada-ada saja yang membuat saya harus bangkit dan melakukan sesuatu. 

Badan saya memberi alarm yang tidak baik, sekujur tubuh terasa gemetar, menggigil. Tapi saya bisa rasakan napas dari hidung yang panas. Kepala saya terasa berat, tenggorokan saya sangat tidak nyaman. 

Ya, Tuhan. Apakah saya selanjutnya? 

Saya menampik alarm tubuh saya, berharap saya tetap baik-baik saja. 

Namun siapa lah saya yang bisa menolak takdir Allah. Di tengah rasa yang entah, anak-anak saya terus berulah, main extrem jadi pemandangan yang mengilukan buat saya, belum lagi keusilan mereka pada si gadis kecil membuatnya untuk teriak sejadinya. Saya sangat tidak tahan. Kepala saya terasa makin berat. Teguran pelan saya untuk polah anak-anak seperti angin lalu. 

Detik berikutnya, lepaslah teriakan dari mulut saya, kesal, marah, lelah membuat tangis saya pecah bersama teriakan memilukan. 

Tidak, saya tidak menyentuh kulit anak-anak saya, saya sangat takut menyakiti mereka. Maka apa yang saya lakukan untuk menumpahkan segala sampah dalam diri saya? Teriak dan menangis sejadinya. 

Suami saya biasanya menjadi tempat pembuangan sampah yang paling luas dan setia. Tapi keadaannya yang belum pulih membuat saya bungkam. 

Sekitar 15 menit saya meraung di hadapan bayi. Lalu dia lelap dalam dekapan saya.

Istighfar lamat saya ucapkan agar hati saya tenang. 

***

Ladies, jika esok kamu mendengar seorang ibu berteriak atau menangis, meraung, atau apa pun itu. Plis! Jangan cepat-cepat menyimpulkan. Apa lagi menyalahkannya. 

Kita tidak pernah tau pasti keadaan sebenarnya. 

Seorang ibu tidak akan pernah mau menyakiti anaknya, bahkan bertaruh nyawa pun ia rela, tapi kelelahan yang dia hadapi kadang beragam cara baginya untuk melepas gumpalan sampah yang jika dibiarkan akan membusuk. 

Dari pada kau memaki, lebih baik tanyakan keadaannya. Apa dia baik-baik saja? Apa dia butuh bantuan? Apa dia perlu tempat berbagi? Atau dia ingin makan sesuatu yang sangat dia inginkan? 

Woman support woman itu adalah sebuah teori terbaik, tapi kadang faktanya yang banyak menggores luka justru sesama perempuan. 

Hey, ayolah. Kita sama-sama mahluk Tuhan yang berasal dari si tulang bengkok. Berempati pada sesama perempuan bisa menjadi sebuah usaha kita untuk menyelamatkan jiwa-jiwa pesakit yang jika dibiarkan berlarut-larut akan tenggelam dalam kegelapan. 

Menyelamatkan perempuan dari carut marut jiwa nya adalah menyelamatkan generasi untuk hidup lebih baik, dengan mendapat pengasuhan terbaik pula dari ibunya yang bahagia. 

Lampung, 22,3,22
Ummeh_4A





Komentar

  1. Kalau keadaan sudah terlanjur memiliki 3 balita sekaligus dalam satu waktu, hal yang bisa dilakukan adalah menjalaninya dengan ikhlas dan minta bantuan pengasuhan pada orang terdekat. Daripada berteriak histeris di depan anak-anak, lebih baik melantunkan Sholawat Nabi dengan penuh keikhlasan dan bahagia. Ada cara untuk mengatur jarak kehamilan yang aman dan sehat untuk ibu. Kenapa sampai memiliki anak begitu rapat jaraknya😱😱. Ketika bayi menerima ASI selama dua tahun tiga bulan kemudian Bunda bisa bersiap-siap secara lahir dan bathin untuk program hamil. Setelah berusia tiga tahun, adiknya lahir dan si kakak sudah cukup menerima perhatian dan kasih sayang Bundanya. Atau orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya Bunda, anak-anakpun bisa menderita dan tidak cukup perhatian karena perhatian yang harus terbagi . Salam bkkbn, BERENCANA ITU KEREN🥰🙏🏻☕

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih bunda sudah mampir. Mau menyakini atau tidak hamil adalah qodarullah. Kenapa saya katakan begitu, seorang mad'u halaqah saya semua kontrasepsi sudah dia coba dan takdir allah terus kebobolan. See, itu hak istimewa tuhan bukan?

      Sesuatu yang sudah ada mengapa mesti dipertanyakan lagi 'kenapa?'

      Coba di baca lagi ya bunda...
      Keadaan seperti apa yang sedang di tuliskan pada tokoh 'saya'. Artinya ini tidak setiap hari terjadi. Si tokoh juga masih mengingat tuhannya dengan istighfar dan tidak menyakiti si buah hati.

      Kadang kita tidak akan pernah benar benar tau keadaan sesorang dan kapasitas hatinya sebelum kita merasakannya sendiri.

      Hapus
  2. Gak papa mbak faridh, berteriaklah sekiranya itu melegakan, tapi memang lebih baik jangan didepan anak, saya pernah melakukan itu, berteriak agak keras setengah menangis, sehingga tetangga depan sedikit kaget dan menanyakan ada apa, namun kemudian adalah kelegaan, yang penting, jangan ditumpahkan kpd anak anak, salam ya, i feel like u

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak di depan anak mbak. Di kamar. Haha

      Bener mbak. Thats why gak mau nyakitin anak kan?

      Thanks banget ya mbak sudah mampir...

      Hapus
    2. Mbak Res emang paling tauuuu banget dah. Emang kalo pernah dalam keadaan yang sama, baru kita bisa saling empati ya mbaaak....
      Karena kadang justru sesama perempuan yang banyak toxcidnya. Hahaha

      Hapus
  3. MasyaAllah...selalu kuat dan mengingat Nya ya ummeh.

    Masing-masing kita punya kapasitas yang berbeda, itu yang akan berkaitan erat dengan ujian hidupnya.
    Selalu berhusnudzon, apapun yang terjadi sudah kehendak dan hal terbaik dari Nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya rabb...
      Ia , hanya mengingat Allah hati menjadi tenang...

      Thanks sudah mampir ya... ☺

      Hapus
  4. Semangat ya ummeh..teriaklah sekiranya itu bisa melegakan, sekali kali dak papa...jangan semua di pendam sendiri yg akhirnya justru membawa penyakit. Jadi ibu dr 4 anak memang tidak mudah, tapi ummeh luar biasa apalagi masih sempat menumpahkan segala uneg2 di tulisan agar yg lain juga bisa belajar memahami kondisi seperti yg ummeh rasakan. Tetap semangat ya ummeh..love you...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaa allah...
      Thanks mom..
      Love you moreee 😘

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertahan

Tentang Cintanya Anak