Bertahan
"Kak, makasih, ya, mau dengar semua ceritaku. Kemarin dia sakit. Badannya kaku, bahkan BAB di tempat. Aku yang urus, aku cebokin,"
"Aku nangis, Kak. Aku bilang ke Allah agar dia dikasih kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahannya."
"Ajaibnya, dia minta maaf, Kak. Kata maaf yang selama ini aku tunggu akhirnya lolos dari bibirnya, yah walau memang dengan keadaan dia di titik terendahnya."
"Gak papa, Kak. Aku tetep bahagia, berharap Allah buka pikirannya dan lembutkan hatinya."
"Jangan capek, ya, Kak, untuk menampung sampah dalam hatiku,"
_-_-_-_-
Aku menatap nanar pesan wa di ponsel. Ada rasa haru yang meletup-letup, tapi terselip rasa tak sepenuhnya yakin bahwa suaminya memang benar-benar menyadari kesalahan.
Tujuh tahun pernikahan bukan waktu yang sebentar, banyak kesempatan bagi seorang suami untuk berbenah dan belajar dari kesalahan, memperbaiki dirinya dan hubungan dalam keluarga kecil mereka. Selama tujuh tahun itu istrinya hidup bagai ada dan tiada. Hadirnya seperti tak membawa arti dalam hidup si suami.
Jatah bulanan sejuta lima ratus untuk segala kebutuhan rumah dan keempat anaknya itu dicatat dengan penuh ketelitian. Hidup di kota besar membuat dia harus berpikir keras menghemat pengeluaran, dia tidak pernah jajan, tidak pernah membeli hal-hal di luar urusan dapur dan kebutuhan rumah. Itu saja dia tetap disebut pemboros oleh suaminya.
Allah.
Aku tak tahu seberapa rapat ia memendam luka, seberapa hebat ia menangis dalam senyuman yang berusaha ia tampakan.
-_-_-_
"Aku pengen beliin anak-anak baju, Kak. Baju mereka sudah banyak yang kekecilan, tapi dia bilang boros,"
"Aku pengen dia minta maaf, Kak. Aku pengen dia support aku, aku pengen dimanja, becanda, selayaknya pasangan rumah tangga, Kak."
"Aku mau saat aku ngeluh tentang keaktifan anak-anak dia tetap support aku, genggam tanganku agar lebih sabar dan lebih kuat"
"Tapi apa, Kak? Dia bilang aku lebay. Aku manja. Aku berlebihan. Aku ngeluh terus-terusan."
"Duh, gusti. Dia ketus, Kak. Gak pernah sekali pun berwajah manis di hadapanku. Saat aku tanya apa salahku, dia diam. Gak jawab."
Bayangan rumahku syurgaku itu mungkin tidak ia rasakan sepanjang pernikahannya. Aku pernah dengar tentang energi hidup seorang anak adalah ibunya, sedangkan kekuatan dan kebahagiaan istri adalah suaminya.
Lalu bagaimana jika suami justru menjadi sumber kesedihannya? sumber segala sesak dadanya?
Dadaku terhimpit sesak tiap kali mendengar kisahnya.
Bagaimana mungkin seorang yang sudah bertahun-tahun disakiti mentalnya, jiwanya, bisa terus bertahan dengan segenap kesabaran.
Fisiknya yang tak semolek saat gadis menjadi bahan bulian keluarga suaminya. Mulai dari ipar bahkan mertua. Berharap sang suami membela dan menjadi kesatria untuk dirinya, nyatanya nihil.
Pernah ia ingin membeli pakaian buat anak-anaknya, tapi sekedar mengutarakan saja ia tak mampu. Segala transaksi jual beli online yang ia tekuni pun harus melalui rekening suaminya. Hidupnya penuh tekanan oleh orang yang harusnya paling jadi teman suka dukanya.
Allahu rabbi...
Tidakah suaminya tahu bahwa lelaki yang baik itu adalah lelaki yang paling baik terhadap istrinya?
Rumah tanpa obrolan hangat itu neraka. Tidur bersama orang yang sangat kita cintai namun tak menganggap kita ada itu petaka.
Ingin sekali aku menyarankan pisah saja. Tapi apakah itu jalan akhir?
Kukatakan padanya untuk tak acuh pada lelakinya, tapi kenyataannya dia memang begitu peduli. Aku ingin ia menjadi kuat, berani, tidak selalu menerima segala luka yang ditoreh oleh suami. Namun ia selalu merasa bersalah justru ketika suami menyalahkannya. Menurutku dia berhak menemukan bahagia dengan caranya.
Namun, ah. Aku lupa, kadang wanita hanya butuh telinga untuk melerai segala rasa. Ia hanya butuh didengar untuk membuang segala sampah dalam fikiran.
_-_-_-_-
"Aku harus ke psikiater, Kak. Gerd-ku kambuh, anxietyku terus-terusan kambuh. BB-ku overweight. Dokter bilang ada yang salah dengan mentalku. Kemungkinan aku stress berat."
"Hahaha. Tapi dia nolak, Kak. Dia bilang aku harus bisa menyembuhkan diri sendiri. Menyedihkan!"
"Baiklah jika itu maunya. Sekarang aku berusaha mendekatkan diri pada Allah, Kak. Itu satu-satunya caraku healing. Aku harus selesai dengan diriku agar anak-anak gak kehilangan sosokku. Ya, kan, Kak?"
_-_-_-_-
"Chi... Aku tau kamu begitu penyabar. Aku tau ketulusanmu akan berbalas syurga"
"Tapi, Chi.. Andai kamu memang sudah tidak sekuat itu, andai segala cara tak memberikan solusi, segala hal tak membuat suamimu berubah. Kamu sangat berhak untuk bahagia dengan caramu. Aku yakin dalam hal ini kamu tidak bersalah, Chi. Kamu gak durhaka."
"Dia yang zalim, Chi. Dia gak meneladani Rosul untuk menjadi sebaik-baik lelaki."
"Kamu sudah berusaha ngomong baik-baik, kamu sudah sangat bersabar tetap melayani segala kebutuhannya di rumah, kamu gunakan uangnya dengan sangat teliti, bahkan kamu catat pengeluaranmu. Kamu gak pernah membentak dan berteriak, kamu diam, kamu menerima. Kurang apa lagi?"
Sesak itu benar-benar membuat napas berat. Gemetar jariku meluap emosi dalam pesan singkat.
Entah terbuat dari apa hatinya. Betapa tegar dia bertahan dengan keadaan yang sama sekali tidak memihak pada bahagianya. Bukan sehari dua, tapi bertahun lamanya.
Bagaimana bisa wanita setulus dan sesabar itu disia-siakan oleh lelaki yang tak tahu tugas dan kewajibannya.
Ingin rasanya kupeluk erat, mengalirkan energi dalam diri, membahu segala beban yang ada.
Bagaimana keempat anaknya? Bagaimana ia menjalani hari?
Bagaimana dia bisa menyimpan dua puluh ribu kata yang mestinya ia lepas?
_-_-_-_-
"Doakan aku kuat, ya, Kak. Doakan suamiku dilembutkan hatinya,"
"Kadang aku takut mati, Kak. Takut banget ninggalin anak-anak yang masih kecil-kecil ini."
"Semoga sakitnya kemarin menjadi titik balik untuk memulai kehidupan kami lebih baik lagi."
_-_-_-_-
'Semoga, Chi. Teruslah berdoa. Karena saat kita lemah sekali pun doa tetap menjadi senjata yang ampuh'
Tak ada yang bisa kulakukan selain melangitkan doa untuknya, untuk anak-anaknya, untuk keluarga kecilnya.
Semoga ada bahagia setelah ujian panjang yang ia terima.
'Tuhan, peluk dan jaga dia. Lindungi dirinya dari suami dan orang-orang zalim di sekitarnya. Beri ia kesehatan dan kesempatan untuk bahagia bersama anak-anaknya'
Teruntuk wanita-wanita hebat, yang penuh perjuangan dengan segala daya juangnya. Mari kita berpelukan saling menopang beban. Biarkan setiap kata menjadi bahu dan dada yang siap menampung jutaan volume airmata.
Ummeh_4A
January, 19, 2022
Masya Allah, Tabarokallah...
BalasHapusMakasih kak sudah mampir...
HapusSemangat
BalasHapusThanks miss A 😘
HapusBagusnya pilihan warna blog ini.
BalasHapusSemangat
BalasHapusThanks kakak 😍
HapusJadi bahan belajar dan muhasabah diri untuk selalu bersyukur...
BalasHapusBersyukur karena allah tidak menguji kita dengan hal serupa ya.. 😌
HapusKadang perempuan baik mendapatkan perlakuan tidak adil.. dan mungkin zholim. Tapi yakinlah, ini ujian. Sahabat saya malah lebih parah lagi, ia harus bekerja keras utk menghidupi tiga anak laki-lakinya umur 10,8, dan 5 tahun sedangkan suaminya tidak punya pekerjaan tetap dan mengalami gangguan jiwa (waham) zkhizoprenia Setiap malam mengalami pukulan fisik dan mental karena suaminya halusinasi melihat istrinya sedang berzina dengan laki-laki lain. Sebagai sahabat saya berusaha utk support dia bagaimanapun caranya dan terus memberikan motivasi utk terus bertahan dengan ujian yang ada. 🥰🙏🏻☕
BalasHapusInnalillahi....
HapusYa Allah sedihnya ..
Yang pasti Allah beri sesuai kapasitas kita ya Bund...
Semoga makin tinggi ujian makin naik kelas kita ...